Wednesday, October 8, 2014

ASAS TUNGGAL PANCASILA JANGAN ASAL COPAS TAPI DIBACA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia tidak asing dengar istilah masa Orde Lama, Orde Baru dan orde reformasi. Orde Lama identik dengan kepemimpinan Soekarno, Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Sedangkan, masa reformasi yaitu masa sekarang ini masa globalisasi dengan segala unsur kebudayaan yang bebas keluar masuk suatu negara.
Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Masa Orde Baru merupakan masa dimana adanya pergantian kekuasaan Soekarno digantikan dengan Suharto yang menjalankan suatu visi yaitu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam masa Orde Baru inilah diterapkan beberapa kebijakan pemerintah untu melaksanakan Pancasila yang murni dan konsekuen tersebut. Beberapa istilah muncul dalam berbagai kebijakan yang dilaksanakan, seperti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Ekaprasetia Pancakarsa, dan Asas Tunggal Pancasila.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sesuai dengan semangat dari awal masuknya Orde Baru. Dimana awal kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Salah satu upaya yang dimaksud ialah dengan munculnya istilah Tunggal Pancasila yang sudah disebutkan di atas. Asas ini mengartikan bahwa tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (orma).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana kedudukan Pancasila pada masa Orde Baru, hingga pada Asas Tunggal Pancasila?
2.    Bagaimana Pelaksanaan Asas Tunggal Pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan rezim Orde Baru?
3.    Bagaimana situasi politik masa diterapkanya “Asas Tunggal” Pancasila?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan menjelaskan tentang:
1.    Kedudukan Pancasila pada masa Orde Baru hingga pada Asas Tunggal Pancasila.
2.    Pelaksanaan Asas Tunggal Pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan rezim Orde Baru
3.    Situasi politik masa diterapkannya “Asas Tunggal Pancasila”



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kedudukan Pancasila Masa Orde Baru
Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan semangat mempersiapkan dasar dari sebuah negara merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, maka Pancasil dimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar secara resmi menjadi Dasar negara Republik Indonesia. Dengan Pancasila dijadikan Dasar Negara, maka mengandung konsekuensi logis bahwa Pancasila dengan sifat dan hakikat nilainya harus menjadi dasar dari tata penyelenggaraan Negara Indonesia.
Dari awal kemerdekaan, kedudukan Pancasila terus mengalami dinamika. Pada tahun  1949 dengan ditetapkanya UUD RIS, tahun 1950 dengan UUD Sementara, tahun 1959 dengan kembali pada UUD 1945 dengan konsepsi Demokrasi hingga padan tahun 1966 dengan semangat pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen oleh rezim yang menyebut dirinya “Orde Baru”. Dinamika dari awal kemerdekaan hingga pada tahun 1966an dianggap Pancasila tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen, terutama di tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpinnya. Terlebih pada periode 1959 – 1965 terdapat upaya menggabungkan Pancasila dengan Ideologi yang secara jelas berlawanan dengannya hingga berujung pada pembrontakan G30S/PKI.
Berpijak dari pandangan ketidakmurnian dan ketidakkonsekuenan pelaksanaan Pancasila sebelum tahun 1966, rezim Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto yang menggantikan rezim Orde Lama pimpinan Ir. Soekarno berjalan dengan semangat pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekuen. Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang banyak dikeluarkan oleh rezim Orde Baru berkaitan dengan pelaksanaan Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara, sebaga ideologi, sebagai pandangan hidup, sebagai pedoman di masyarakat benar-benar diupayakan sekuat tenaga oleh rezim Orde Baru. Ekaprasetia Panca Karsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4) dan Asas Tunggal Pancasila merupakan contoh dari kebijakan Orde Baru berkaitan dengan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Kebijakan Ekaprasetia Panca Karsa terdapat dalam Tap MPR No.II/MPR/1978, dimana dijelaskan pada pasal satu “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan  Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Kemudian pada pasal dua “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Hal ini menjelaskan bahwa rezim Orde Baru berusaha memberikan pedoman bagi masyarakat untuk melaksanakan Pancasila. Akan tetapi, perlu dicermati keadaanya berbeda pada selanjutnya.
Sebagai sebuah dasar negara dengan konsekuensi logisnya, rezim Orde Baru mempertegas kedudukan Pancasila, berkaitan dengan  pertai politik dan organisasi masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 8/1985 dan Undang-Undang No 3/1985, dimana menyatakan bahwa Partai Politik dan Golongan Karya serta Organisasi Masyarakat harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Asas yang dimaksud disini adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbagsa dan bernegara.
Dengan kenyataan-kenyataan di atas membuktikan bahwa rezim Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai dasar, asas, dan ideologi yang wajib dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh bangsa Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis bangsa Indonesia setelah menetapkan Pancasila melalui penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara.
Semangat pelakasanaan Pancasila secara murni dan konsekuen yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru ternyata dalam perjalanannya memunculkan sebuah istilah “hegemoni”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hegemoni berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, atau kekuasaan dan sejenisnya. Kaitannya dengan Pancasila, dalam perjalanan rezim Orde Baru, pemimpin memberikan pengaruh atau dominasi dengan alat ideologi Pancasila guna mempertahankan kekuasaanya.

B.       Asas Tunggal Pancasila dan “Hegemoni” Orde Baru
1.         Latar Belakang
Tentunya munculnya istilah atau kebijakan Asas Tunggal Pancasila disebabkan situasi politik yang berkembang pada masa Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru, yakni orde yang dipimpin oleh Soeharto, meyakinkan bahwa Orde Baru yang dipimpinnya adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Instabilitas nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila kemudian menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.[1]
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
 Itulah sebabnya, Suharto beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang pertengahan 1966, MPRS  telah berhasil membersihkan dirinya dari semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno.
Ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 1945.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila dengan demikian tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat.
Realitas ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini.
Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif meminjam istilah Althuser seperti presiden, menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yaitu TAP MPR No.II/MPR/1978. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat.
Selama pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, farksi NU (Nahdatu Ulama) dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) melakukan protes dengan walk out dari Majelis. Menurut Sidney Jones, pada saat itu NU adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti itu.
2.         Pelaksanaan Asas Tunggal Pancasila
Situasi kondisi yang digambarkan di atas, menjadikan Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Dan mencanangkan tentang asas tunggal Pancasila yang artinya tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (orma). Hal ini  tercantum pada UU No. 3 tahun 1985 tentang ditetapkannya Pancasila sebagai asas Partai Politik. Tidak lama setelah dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung  Golongan Karya (Golkar), sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI dengan demikian harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila.
Dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan lagi bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.” Pernyataan ini makin menegaskan adanya proses hegemoni ideologi, sesuatu yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia sebelumnya, dimana negara mampu menggunakan hegemoni ideologi seefektif yang dilakukan Orde Baru.
Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.
Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi Pancasila. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya.



C.      Situasi Politik Saat Berlakunya Asas Tunggal Pancasila
Dengan kebijakan pemerintah Orde Baru berupa Asas Tunggal Pancasila menuai berbagai reaksi yang mewanai situasi politik pada masa itu. Berbagai situasi politik pada masa itu dapat dilihat sebagai berikut.
Pada 6 November 1982, lima organisasi yang mewakili lima agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha) mengeluarkan pernyataan bersama untuk tetap mempertahankan asas keagamaan masing-masing, dan tidak setuju terhadap rencana pemberlakukan asas tunggal. Namun demikian, mereka akan membuat umat menjadi orang yang beragama dan Pancasilais. Khusus umat Islam, reaksi yang terkadi sangat bervariasi dalam mensikapi gagasan asas tunggal ini. Tidak sedikit tokoh Islam yang menolak penunggalan asas tersebut. Reaksi paling keras datang dari Islam modernis radikal seperti Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII).
Kebijakan Orde Baru berupa asas tunggal ini akhirnya menciptakan ketegangan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, khususnya antara elemen umat Islam dengan pemerintah. Bahkan rezim Orba sengaja menempatkan Islam sebagai ancaman dengan dalih anti-Pancasila. Sebutan ‘ekstrem kanan’ digunakan untuk kalangan Islam yang menyuarakan kewajiban penerapan syariat Islam. Sejumlah operasi intelijen dan militer dilakukan untuk memberangus kalangan Islam yang bersuara kritis. Tragedi berdarah seperti peristiwa kerusuhan Lapangan Banteng di tahun 1982, Tanjung Priok 1984, Talangsari di Lampung 1989, Haur Koneng di Majalengka 1993 adalah harga pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal dengan umat Islam sebagai tumbalnya.
Sikap reaksioner kelompok Islam dalam merespon asas tunggal Pancasila paling menyolok tergambar dalam peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa ini diawali dengan serangkaian pidato dan khutbah yang menyerang berbagai kebijakan-kebijakan diskriminatif rezim Orde Baru terutama tentang asas tunggal Pancasila. Sikap sebagian umat Islam tersebut ditanggapi dengan penindasan represif fisik oleh rezim Orde Baru. Dan peristiwa berdarahpun terjadi. Peristiwa ini dikenal dengan “Peristiwa Tanjung Priok”. Amir Biki tokoh penting kelompok ini, beserta kelompok aktivis lainya terbunuh ditangan pasukan Jenderal L.B. Moerdani dan Tri Soetrisno yang pada waktu dituding bertanggungjawab atas insiden itu. Kalangan Islam berpendapat bahwa jumlah korban yang mati terbunuh akan jauh berkurag jika ABRI tidak menggunakan cara-cara keras dalam menangani kasus tersebut. Barangkali inilah peristiwa yang paling berdarah yang terjadi selama umat Islam berada dibawah rezim Orde Baru, setelah peristiwa itu banyak para ulama dan pemimpin Islam yang ditangkap militer.
Dengan berlakunya asas tunggal Pancasila, maka PPP sebagai satu-satunya partai yang berasaskan Islam harus menghapus asas Islam dan menggantinya dengan asas Pancasila. Ini berarti bahwa perjuangan dan perjalanan Politik Islam Indonesia melalui jalur politik praktis mengalami kekalahan terbesar dalam lintasan sejarah politik Islam Indonesia. Ternyata berbagai kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru terhadap politik Islam yang berakhir dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila tersebut memberikan implikasi yang sangat besar terhadap perjuangan politik Islam kedepan. Setelah tidak berhasil dengan strategi Islamisasi negara demi masyarakat, karena ditekan habis oleh rezim Orde Baru, pada kahir 1970-an muncul satu generasi Islam dengan mutu intelektualitas yang lebih baik, dengan pemikiran-pemikiran yang lebih modern. Mereka melontarkan gagasan-gagasan yang berbeda dengan pendahulu-pendahulu mereka.
Kondisi sosiologis pasca penetapan asas tunggal Pancasila, sudah tidak memungkinkan lagi untuk menerapkan strategi Islamisasi negara demi masyarakat dengan bertindak sebagai oposan bagi rezim Orde Baru. Oleh karena itu para pemikir dan aktivis muda Islam mulai berfikir mencari jalan terbaik supaya umat Islam dapat melepaskan citra buruk yang telah melekat dalam tubuh Islam.
Strategi politik Islam yang paling menonjol pasca penetapan asas tunggal Pancasila adalah para pemikir dan aktivis Islam mulai mencoba bersikap akomodatif terhadap rezim Orde Baru. Apalagi setelah tidak lagi organisasi politik maupun ormas Islam yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi. Sehingga rezim Orde Baru memandang bahwa dengan diterimanya asas tunggal Pancasila bagi organisasi politik maupun organisasi massa Islam, maka hilang sudah kekhawatiran “Islam Phobia”, karena selama ini yang dikhawatirkan oleh rezim Orde Baru adalah politik Islam bila dibiarkan akan tumbuh dan berkembang dan berusaha mendirikan negara Islam.
Agar politik Islam tetap eksis dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, maka strategi yang dipilih adalah dengan mengembangkan politik Islam melalui jalur kultural (budaya) dan penekanan upaya membangun kapasitas politik masyarakat melalui strategi Islamisasi masyarakat dalam negara nasional.
Kemudian kecaman atau reaksi pun muncul dari Kelompok lima puluh yang terdiri dari para purnawirawan ABRI yang terkemuka, mantan para pemimpin partai dan akademisi (disebut ‘Petisi 50’). Dimana ‘Petisi 50’ tersebut menyerang Soeharto dalam suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR. Pernyataan itu menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap Pancasila untuk tujuan-tujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini mengecam Soeharto, karena mencoba mem-personifikasi-kan Pancasila sehingga tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap anti-Pancasila. Reaksi tersebut berakibat pada di back-list-nya mereka oleh pemerintah, dan banyak dari mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu bangkitnya perlawanan atas pemerintah Orde Baru, terutama farksi NU dari PPP.
Dikeluarkanya kebijakan Asas Tunggal Pancasila ini juga berdampak pada gerakan kaum muda Muslim terbesar dan paling berpengaruh, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keharusan HMI untuk merubah dan menerima Asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di jalan Diponegoro Jakarta dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam, sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya. Awalnya hanya peristiwa politik yang menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa, sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.

No comments:

Post a Comment