BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia
tidak asing dengar istilah masa Orde Lama, Orde Baru dan orde reformasi. Orde
Lama identik dengan kepemimpinan Soekarno, Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno.
Sedangkan, masa reformasi yaitu masa sekarang ini masa globalisasi dengan
segala unsur kebudayaan yang bebas keluar masuk suatu negara.
Orde Baru hadir dengan semangat
"koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa
Orde Lama. Masa Orde Baru merupakan masa dimana adanya pergantian kekuasaan
Soekarno digantikan dengan Suharto yang menjalankan suatu visi yaitu
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam masa Orde Baru inilah
diterapkan beberapa kebijakan pemerintah untu melaksanakan Pancasila yang murni
dan konsekuen tersebut. Beberapa istilah muncul dalam berbagai kebijakan yang
dilaksanakan, seperti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),
Ekaprasetia Pancakarsa, dan Asas Tunggal Pancasila.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Orde
Baru menjadi identik dengan Pancasila, sesuai dengan semangat dari awal
masuknya Orde Baru. Dimana awal kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan
masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai
ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk
memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh
kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Salah satu upaya yang dimaksud ialah
dengan munculnya istilah Tunggal Pancasila yang sudah disebutkan di atas. Asas
ini mengartikan bahwa tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun
organisasi masyarakat (orma).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kedudukan Pancasila
pada masa Orde Baru, hingga pada Asas Tunggal Pancasila?
2.
Bagaimana Pelaksanaan Asas
Tunggal Pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan rezim Orde Baru?
3.
Bagaimana situasi politik masa
diterapkanya “Asas Tunggal” Pancasila?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah
ini bertujuan menjelaskan tentang:
1.
Kedudukan Pancasila pada masa Orde
Baru hingga pada Asas Tunggal Pancasila.
2.
Pelaksanaan Asas Tunggal
Pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan rezim Orde Baru
3.
Situasi politik masa
diterapkannya “Asas Tunggal Pancasila”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Pancasila Masa Orde Baru
Pancasila
merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup jauh sebelum
bangsa Indonesia merdeka. Dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan semangat
mempersiapkan dasar dari sebuah negara merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Dengan demikian, maka Pancasil dimana terdapat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar secara resmi menjadi Dasar negara Republik Indonesia.
Dengan Pancasila dijadikan Dasar Negara, maka mengandung konsekuensi logis bahwa
Pancasila dengan sifat dan hakikat nilainya harus menjadi dasar dari tata
penyelenggaraan Negara Indonesia.
Dari
awal kemerdekaan, kedudukan Pancasila terus mengalami dinamika. Pada tahun 1949 dengan ditetapkanya UUD RIS, tahun 1950
dengan UUD Sementara, tahun 1959 dengan kembali pada UUD 1945 dengan konsepsi
Demokrasi hingga padan tahun 1966 dengan semangat pelaksanaan Pancasila secara
murni dan konsekuen oleh rezim yang menyebut dirinya “Orde Baru”. Dinamika dari
awal kemerdekaan hingga pada tahun 1966an dianggap Pancasila tidak dilaksanakan
secara murni dan konsekuen, terutama di tahun 1959 dengan Demokrasi
Terpimpinnya. Terlebih pada periode 1959 – 1965 terdapat upaya menggabungkan
Pancasila dengan Ideologi yang secara jelas berlawanan dengannya hingga
berujung pada pembrontakan G30S/PKI.
Berpijak
dari pandangan ketidakmurnian dan ketidakkonsekuenan pelaksanaan Pancasila
sebelum tahun 1966, rezim Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto yang menggantikan
rezim Orde Lama pimpinan Ir. Soekarno berjalan dengan semangat pelaksanaan
Pancasila yang murni dan konsekuen. Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
banyak dikeluarkan oleh rezim Orde Baru berkaitan dengan pelaksanaan Pancasila.
Pancasila
sebagai dasar negara, sebaga ideologi, sebagai pandangan hidup, sebagai pedoman
di masyarakat benar-benar diupayakan sekuat tenaga oleh rezim Orde Baru. Ekaprasetia
Panca Karsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4) dan Asas
Tunggal Pancasila merupakan contoh dari kebijakan Orde Baru berkaitan dengan
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Kebijakan
Ekaprasetia Panca Karsa terdapat dalam Tap MPR No.II/MPR/1978, dimana
dijelaskan pada pasal satu “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara,
dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”. Kemudian pada pasal dua
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan
pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap
warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga
kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan
dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Hal ini menjelaskan bahwa rezim Orde Baru
berusaha memberikan pedoman bagi masyarakat untuk melaksanakan Pancasila. Akan
tetapi, perlu dicermati keadaanya berbeda pada selanjutnya.
Sebagai sebuah dasar negara dengan konsekuensi
logisnya, rezim Orde Baru mempertegas kedudukan Pancasila, berkaitan
dengan pertai politik dan organisasi
masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 8/1985 dan Undang-Undang
No 3/1985, dimana menyatakan bahwa Partai Politik dan Golongan Karya serta
Organisasi Masyarakat harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Asas yang dimaksud disini adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbagsa
dan bernegara.
Dengan kenyataan-kenyataan di atas membuktikan bahwa
rezim Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai dasar, asas, dan ideologi yang
wajib dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh bangsa Indonesia. Hal ini
sebagai konsekuensi logis bangsa Indonesia setelah menetapkan Pancasila melalui
penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara.
Semangat pelakasanaan Pancasila secara murni dan
konsekuen yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru ternyata dalam perjalanannya
memunculkan sebuah istilah “hegemoni”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
hegemoni berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, atau kekuasaan dan sejenisnya. Kaitannya dengan
Pancasila, dalam perjalanan rezim Orde Baru, pemimpin memberikan pengaruh atau
dominasi dengan alat ideologi Pancasila guna mempertahankan kekuasaanya.
B.
Asas Tunggal Pancasila dan “Hegemoni” Orde Baru
1.
Latar Belakang
Tentunya munculnya istilah atau kebijakan Asas Tunggal
Pancasila disebabkan situasi politik yang berkembang pada masa Orde Baru. Pada
awal masa Orde Baru, yakni orde yang dipimpin oleh Soeharto, meyakinkan bahwa Orde Baru yang dipimpinnya adalah pewaris sah dan
konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno,
pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan
karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih
baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan
internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan
oleh Orde Baru.
Kekuasaan
awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap
bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila
adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’
itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal
1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu
‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Instabilitas
nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut
meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya
men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer
(sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual,
demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan
Sukarno dalam bulan Maret 1966. Mulai saat itulah, Orde
Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan
meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila kemudian menjadi suatu
pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan
suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila
menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila
tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu
berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas
nasional yang mantap daripada Orde Lama.[1]
Bagi
Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara
kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas
nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih
mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif
dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal
bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
Itulah sebabnya, Suharto beserta tokoh penting
Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya Pancasila bagi Orde
Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi
kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde
Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun
1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah yang dilegitimasi oleh
ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang pertengahan 1966, MPRS telah berhasil membersihkan dirinya dari semua
pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk
mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli
1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan
Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno.
Ditetapkannya
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin
oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan
tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan,
legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting
lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah
‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional
serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih
tinggi daripada Batang Tubuh UUD 1945.
Pada
kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis
paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi
kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap
ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila,
dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk
pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang
merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang
tertinggi di Indonesia. Pancasila dengan demikian tidak bisa dilaksanakan bila
terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian
nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai
politik oposisi, seperti di Barat.
Realitas
ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde
Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas
negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi
justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu,
realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde
Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila
adalah titik tolak dari rezim ini.
Demikianlah
awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang
konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan
sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi
atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain
yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap
usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara,
dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif meminjam
istilah Althuser seperti presiden, menteri, ABRI dan
lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga
keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Penggabungan
partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari
ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi Pancasila
dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978 pemerintah Orde
Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut
parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia.
Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang
‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yaitu TAP MPR No.II/MPR/1978.
Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR untuk
rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program indoktrinasi Pancasila
secara nasional melalui program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan
secara ketat.
Selama
pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, farksi
NU (Nahdatu Ulama) dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) melakukan protes
dengan walk out dari Majelis. Menurut Sidney Jones,
pada saat itu NU adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia
yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh
rezim karena pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru
tentang perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto
untuk masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan
perkataan lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen.
Perilaku seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh
rezim, sebagaimana dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia
menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti itu.
2.
Pelaksanaan Asas Tunggal Pancasila
Situasi
kondisi yang digambarkan di atas, menjadikan Presiden Orde Baru mulai secara
tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila
sebagai ideologi. Dan mencanangkan tentang asas tunggal Pancasila yang artinya
tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat
(orma). Hal ini tercantum pada UU No. 3
tahun 1985 tentang ditetapkannya Pancasila sebagai asas Partai Politik. Tidak
lama setelah dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan
kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi
kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu
dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Tanggal
27 Maret dan 16 April 1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut
melalui pidatonya pada Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde
Baru, Pancasila telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme,
Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di
negara ini harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan
keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela
dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus
mendukung Golongan Karya (Golkar),
sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI dengan
demikian harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto dan
kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam
(PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam jelas
digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama
saja dengan membahayakan Pancasila.
Dalam
pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan lagi
bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar
ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.” Pernyataan ini makin menegaskan
adanya proses hegemoni ideologi, sesuatu yang belum pernah ada dalam sejarah
Indonesia sebelumnya, dimana negara mampu menggunakan hegemoni ideologi
seefektif yang dilakukan Orde Baru.
Dengan demikian,
perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk
‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi
sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang
didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan
‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun.
Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream
‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah
ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan
lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.
Ditetapkannya
Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin
memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi Pancasila. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya, harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya.
C.
Situasi Politik Saat Berlakunya Asas Tunggal Pancasila
Dengan
kebijakan pemerintah Orde Baru berupa Asas Tunggal Pancasila menuai berbagai
reaksi yang mewanai situasi politik pada masa itu. Berbagai situasi politik
pada masa itu dapat dilihat sebagai berikut.
Pada
6 November 1982, lima organisasi yang mewakili lima agama (Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan Budha) mengeluarkan pernyataan bersama untuk tetap
mempertahankan asas keagamaan masing-masing, dan tidak setuju terhadap rencana
pemberlakukan asas tunggal. Namun demikian, mereka akan membuat umat menjadi
orang yang beragama dan Pancasilais. Khusus umat Islam, reaksi yang terkadi sangat bervariasi dalam mensikapi gagasan asas tunggal ini. Tidak
sedikit tokoh Islam yang menolak penunggalan asas tersebut. Reaksi paling keras datang dari Islam modernis radikal seperti Dewan
Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII).
Kebijakan
Orde Baru berupa asas tunggal ini akhirnya menciptakan
ketegangan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, khususnya antara
elemen umat Islam dengan pemerintah. Bahkan rezim Orba sengaja menempatkan Islam
sebagai ancaman dengan dalih anti-Pancasila. Sebutan ‘ekstrem kanan’ digunakan
untuk kalangan Islam yang menyuarakan kewajiban penerapan syariat Islam.
Sejumlah operasi intelijen dan militer dilakukan untuk memberangus kalangan Islam
yang bersuara kritis. Tragedi berdarah seperti peristiwa kerusuhan Lapangan
Banteng di tahun 1982, Tanjung Priok 1984, Talangsari di Lampung 1989, Haur
Koneng di Majalengka 1993 adalah harga pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal
dengan umat Islam sebagai tumbalnya.
Sikap
reaksioner kelompok Islam dalam merespon asas tunggal Pancasila paling menyolok
tergambar dalam peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa ini diawali dengan
serangkaian pidato dan khutbah yang menyerang berbagai kebijakan-kebijakan
diskriminatif rezim Orde Baru terutama tentang asas tunggal Pancasila. Sikap
sebagian umat Islam tersebut ditanggapi dengan penindasan represif fisik
oleh rezim Orde Baru. Dan peristiwa berdarahpun terjadi. Peristiwa ini dikenal
dengan “Peristiwa Tanjung Priok”. Amir Biki tokoh penting kelompok ini, beserta
kelompok aktivis lainya terbunuh ditangan pasukan Jenderal L.B. Moerdani dan
Tri Soetrisno yang pada waktu dituding bertanggungjawab atas insiden itu.
Kalangan Islam berpendapat bahwa jumlah korban yang mati terbunuh akan jauh
berkurag jika ABRI tidak menggunakan cara-cara keras dalam menangani kasus
tersebut. Barangkali inilah peristiwa yang paling berdarah yang terjadi selama
umat Islam berada dibawah rezim Orde Baru, setelah peristiwa itu banyak para
ulama dan pemimpin Islam yang ditangkap militer.
Dengan
berlakunya asas tunggal Pancasila, maka PPP sebagai satu-satunya partai yang
berasaskan Islam harus menghapus asas Islam dan menggantinya dengan asas Pancasila.
Ini berarti bahwa perjuangan dan perjalanan Politik Islam Indonesia melalui
jalur politik praktis mengalami kekalahan terbesar dalam lintasan sejarah
politik Islam Indonesia. Ternyata berbagai kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru
terhadap politik Islam yang berakhir dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila
tersebut memberikan implikasi yang sangat besar terhadap perjuangan politik Islam
kedepan. Setelah tidak berhasil dengan strategi Islamisasi negara demi
masyarakat, karena ditekan habis oleh rezim Orde Baru, pada kahir 1970-an muncul
satu generasi Islam dengan mutu intelektualitas yang lebih baik, dengan pemikiran-pemikiran
yang lebih modern. Mereka melontarkan gagasan-gagasan yang berbeda dengan
pendahulu-pendahulu mereka.
Kondisi
sosiologis pasca penetapan asas tunggal Pancasila, sudah tidak memungkinkan
lagi untuk menerapkan strategi Islamisasi negara demi masyarakat dengan
bertindak sebagai oposan bagi rezim Orde Baru. Oleh karena itu para pemikir dan
aktivis muda Islam mulai berfikir mencari jalan terbaik supaya umat Islam dapat
melepaskan citra buruk yang telah melekat dalam tubuh Islam.
Strategi
politik Islam yang paling menonjol pasca penetapan asas tunggal Pancasila
adalah para pemikir dan aktivis Islam mulai mencoba bersikap akomodatif
terhadap rezim Orde Baru. Apalagi setelah tidak lagi organisasi politik maupun
ormas Islam yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi. Sehingga rezim Orde
Baru memandang bahwa dengan diterimanya asas tunggal Pancasila bagi organisasi
politik maupun organisasi massa Islam, maka hilang sudah kekhawatiran “Islam
Phobia”, karena selama ini yang dikhawatirkan oleh rezim Orde Baru adalah
politik Islam bila dibiarkan akan tumbuh dan berkembang dan berusaha mendirikan
negara Islam.
Agar
politik Islam tetap eksis dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, maka strategi
yang dipilih adalah dengan mengembangkan politik Islam melalui jalur kultural
(budaya) dan penekanan upaya membangun kapasitas politik masyarakat melalui
strategi Islamisasi masyarakat dalam negara nasional.
Kemudian
kecaman atau reaksi pun muncul dari Kelompok lima puluh yang terdiri dari para
purnawirawan ABRI yang terkemuka, mantan para pemimpin partai dan akademisi
(disebut ‘Petisi 50’). Dimana ‘Petisi 50’ tersebut menyerang Soeharto dalam
suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR. Pernyataan itu
menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap Pancasila untuk
tujuan-tujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa Pancasila tidak
pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik terhadap mereka yang
dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini mengecam Soeharto, karena
mencoba mem-personifikasi-kan Pancasila sehingga tiap desas-desus
tentang dia akan dianggap sebagai sikap anti-Pancasila.
Reaksi tersebut berakibat pada di back-list-nya mereka oleh
pemerintah, dan banyak dari mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar
negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu bangkitnya perlawanan atas pemerintah Orde
Baru, terutama farksi NU dari PPP.
Dikeluarkanya
kebijakan Asas Tunggal Pancasila ini juga berdampak pada gerakan kaum muda
Muslim terbesar dan paling berpengaruh, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Keharusan HMI untuk merubah dan menerima Asas Pancasila berakibat fatal, karena
menyebabkan HMI terpecah menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial
karena bersekretariat di jalan Diponegoro Jakarta dan HMI MPO (Majelis
Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO menerima asas Pancasila –
meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam, sedangkan HMI MPO tetap
mempertahankan asas Islamnya. Awalnya hanya peristiwa politik yang menyebabkan
perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan kelembagaan, yang
kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang dirumuskan, agar
tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan penyesuan-penyesuan terhadap
pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa, sedangkan HMI MPO, harus
mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan konsep-konsep, pola-pola dan sistem
penjelas organisasi.
No comments:
Post a Comment