Wednesday, June 29, 2016

Pancasilaku adalah Pribadiku yg berlandaskan Agamaku


TUGAS PANCASILA 2
TANTANGAN IDEOLOGI GLOBAL, KONSERVASI IDEOLOGI DAN PEMBELAJARAN IDEOLOGI


Dosen Pengampu:          1. Prof. Suyahmo, M.Si
                                                2. Drs. Suprayogi, M.Pd
                                                3. Noorochmat Isdaryanto, S.S, M.Si


Disusun Oleh Kelompok 10:

1.    Arum Nur Farida                            3301412066
2.    Mohammad Ali Hasan                    3301412077
3.    Wayan Kalingga Prisma                 3301412084
4.    Gesti Aprilia Kusuma W.               3301412090
5.    Mariam Ulfah                                 3301412105
6.    Diah Kusumawati                           3301412110


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya di Indonesia konsep ideologi perlu mendapat kejelasan yang lebih intensif. Ideologi yang menjadi acuan kehidupan bangsa Indonesia mempunyai karakteristik sebenarnya yang tidak menutup dirinya terhadap dinamika pembangunan tersebut, oleh karena itu dikonotasikan sebagai ideologi terbuka. Hal ini memperlihatkan bahwa ideologi pancasila mempunyai sifat dinamik. Ia dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan dan kemajuan kehidupan masyarakat yang sekarang ini sedang memasuki era globalisasi.
Ideologi terbuka seperti ini  dapat mendukung proses pembangunan nasional, karena dalam dirinya mengandung dua makna yaitu : (1) ideologi terbuka tidak meletakkan sesuatu dari luar kepada masyarakat, melainkan memobilisasikan yang sudah ada didalamnya; (2) ideologi terbuka mengungkapkan nilai-nilai masyarakat secara eksplisit. Oleh karena itu ideologi terbuka dapat berfungsi secara korektif dan pemacu pembangunan operasional, melainkan tujuannya dalam wujud nilai-nilai. Maka ia berfungsi sebagai acuan kritis terhadap penetapan sasaran-sasaran, strategi dan sasaran pembangunan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat.
Seluruh kehidupan masyarakat bergairah untuk berpartisipasi dalam pembangunan bilamana mereka termotivasi untuk mewujudkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Oleh karena itu pembangunan akan semakin berhasil bilamana masyarakat melihat pembangunan sebagai realisasi nilai-nilai dan harapan-harapan mereka. Pembangunan akan semakin berhasil, merangsang partisipasi aktif dan kreatif masyarakat bilamana pembangunan itu sesuai dengan cita-cita masyarakat. hal ini memperlihatkan bahwa, dalam pembangunan perlu didasarkan pada nilai-nilai dan harapan-harapan hidup dalam bermasyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh abdul kadir besar bahwa seperangkat nilai-nilai interinsik yang diyakini kebenarannya dan dijadikan dasar untuk menata masyarakat dalam bernegara, tidak lain adalah sebagai wujud cita-cita atau ideologi itu sendiri (abdulkadir besar 1983 : 2).
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis, harmonis dinamis, didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu pengembangan pendidikan haruslah berorientasi kepada dua tujuan, yakni untuk pembinaan moral dan intelektual. Oleh karena itu proses dan isi pembelajaran hendaknya dirancang secara cermat sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada giliran selanjutnya akan menjadi potensi bagi proses pembelajaran yang berkualitas.
Pancasilalah yang dapat menjamin utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk terus mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia. Di samping itu, pemahaman terhadap wawasan kebangsaan juga harus ditingkatkan. Wawasan Nusantara yang menjadi doktrin dasar nasional, dan ketahanan nasional pada saat ini kurang mendapat perhatian. Sebab, sangat mungkin masyarakat tidak memahami Pancasila, sehingga Pancasila dianggap tidak penting.
Uraian diatas yang menjelaskan secara singkat tentang peranan ieologi dalam konteks pembangunan, kita perlu kembali merenungkan ideologi kita sendiri. Pembangunan di negara kita berlandaskan Pancasila. Pancasila bukanlah tergolong  ideologi tertutup, melainkan ideologi terbuka. Ia merupakan perumusan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat Indonesia dalam dimensi politik. Justru sebagai ideologi terbuka, pancasila sangat efektif sebagai landasan pembangunan. Pembangunan yang didasarkan pancasila di satu pihak dapat memobilitasikan motivasi yang secara potensial ada dalam masyarakat, di lain pihak akan menolak segala cara yang tidak sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa indonesia tentang kemanusiaan universal. Banyak ahli di Tanah Air kemudian mengajukan opini tentang pentingnya mengembalikan posisi Pancasila sebagai nafas bangsa. Kebijakan di Era Refomasi yang menghapus keberadaan Pancasila dari kurikulum sekolah lantas dianggap sebagai biang kerok persoalan yang menyebabkan nilai-nilai Pancasila tercabut dari sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam makalah ini akan membahas mengenai “Tantangan Ideologi Global, Konservasi Ideologi Dan Pembelajaran Ideologi”.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar  Belakang diatas bahwa kami akan mengkaji beberapa rumusan masalah yang diantaranya?
1.    Bagaimana Peranan Ideologi Pancasila dalam arus Globalisasi?
2.    Bagaimana Ideologi Pancasila dalam Pengajaran di Kelas?
3.    Bagaimana melestarikan Ideologi dengan mengaitkan pada Ideologi Pancasila?
C.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui peranan Ideologi Pancasila dalam arus Globalisasi
2.    Untuk mengetahui cara mendaratkan Ideologi Pancasila dalam Pengajaran di Kelas
3.    Untuk mengetahui cara pelestarian Ideologi Pancasila dengan mengaitkan pada Ideologi Pancasila















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peranan Ideologi Pancasila dalam arus Globalisasi
Dengan ambruknya beberapa negara komunis, berarti pula bangkrutnya ideologi komunis, dan surutnya peradaban individualistik. Oleh karena ideologi Pancasila merupakan ideologi yang berwatak intregalistik, maka tentu saja ia dapat berperan mengarahkan dinamika globalisasi ke arah yang seharusnya.
Namun demikian, peran itu tidak secara otomatis berjalan dengan sendirinya, tanpa di ikhtiarkan oleh para pendukungnya. Sebab, sabagaimana diketahui, setiap ideologi selalu menuntut adanya loyalitas serta keterlibatan optimal dari para pedukungnya.
Ideologi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Secara internal, Pancasila dihadapkan pada peranannya di dalam mempersatukan bangsa Indonesia dan tidak selamanya mudah dilakukan. Kebhinekaan atau kemajemukan Indonesia, sepintas lalu memang jauh lebih menonjol daripada kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupkan ancaman baik riil maupun potensial. Eka Darmaputra dalam disertasinya yang berjudul “Pancasila and the Search for Identity and Modernity a Cultural and Ethical Analysis”: dalam salah satu kesimpulannya mengatakan bahwa integrasi adalah masalah yang paling pokok bagi masyarakat Indonesia, justru oleh karena integrasi mengasumsikan adanya pluralitas dan heterogenitas (Darmaputera, 1988: 40). Dalam kesempatan lain, Darmaputera mengatakan bahwa efektifitas Pancasila haruslah diukur dari sampai sejauh mana ia mampu mempertahankan baik ke-“bhinneka”- an maupun ke-“tunggal”-an Indonesia di dalam suatu keseimbangan yang dinamis dan kreatif (Darmaputera, 1988: 29).
Tantangan eksternal yang dihadapi oleh Pancasila adalah bahwa di era diglobalisasi ini muncul kecenderungan berakhirnya negara bangsa sebagaimana disinyalir oleh Kenichi Ohmae dan Heidi-Alfin Toffler.
Pemecahan masalah-masalah global, menurut Ohmae tidak lagi didasarkan pada satuan-satuan politik berupa negara bangsa, melainkan pada unit-unit geografi, yang ia sebut ”region state”. Dalam bukunya “The end of the Nation State” Ohmae menulis: the only hope is to reverse the postfeudal centralizing tendencies of the modern era and allow or better, encourage the economic pendulum to swing away from nation and back toward region (ohmae, 1995:142).
Senada dengan pendapat ohmae, Alfin dan heidi Toffler menyatakan: the old hard edges of the nation state are eroding. These region units area assuming economic viability in the placed where the third wave is most advance (toffler and Heidi Toffler, 1993:243-243). Berakhirnya peran negara bangsa sebagaimana diisukan Ohmae dan Toffler, tidak berarti bahwa peran ideologi menjadi tidak ada. Ideologi, sepanjang manusia masih ada, ia tetap eksis, sebab manusia merupakan sumber genetik dari ideologi. Yang bisa terjadi adalah, seperti yang tengah dikemukakan oleh Mustafa Rejai, ideologi bisa muncul, surut dan kemudian bangkit lagi dalam bentuknya yang baru.
Fenomena globalisasi, di satu sisi ditandai oleh surutnya peradaban individualistik, dan di sisi lain sedang tumbuh peradaban dimana antara negara yang satu dengan negara lain yang saling tergantung. Seperti dikatakan Karl Deutsch : “Despite the persistence of nation state, international interdependen- ce has increared in severak important sector of human behavior. The world continous to be ever more science and technology, and in political culture” (Deutsch, 1971:81). Sesuai tesis ontologik dalam MEAS, diantaranya : ada itu memberi, dimana antara dua fenomen atau lebih yang saling tergantung, bisa ada yang bisa lestari, hanya melalui interaksi saling memberi, maka bila negara kebangsaan ingin melestarikan eksistensinya, hanya dapat mereka wujudkan melalui interaksi saling memberi antar negara yang terselenggara secara terus menerus ini, oleh pembukaan UUD 1945 dikualifikasikan sebagai “ketertiban Dunia”.
Paham ketertiban dunia  (Indonesia) berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, dimana “kemerdekaan” menunjukkan pada subjek yang berinteraksi saling memberi. Dalam pengertian ini, disatu pihak negara kebangsaan sebagai subjek diakui sebagai pengemban kedaulatan maksimum, tetapi dipihak lain, karena secara alami terdapat relasi saling tergantung, maka terpeliharanya kedaulatan maksimum tersebut, sampai tingkat tertentu tergantung pada terlaksananya kewajiban memberi dari negara–negara yang bertautan dengannya (Besar, 1992:28).
Pancasila adalah ideologi yang berwatak integralistik. Hakikat yang terkandung didalamnya adalah kebersamaan. Kebersamaan itu bisa terwujud realitas terintegrasinya sejumlah pluralitas dan bisa berwujud pula suatu idea yang mengakui adanya pluralitas yang secara alami berinteraksi saling tergantung membentuk sebuah kebersamaan.
Ketahanan nasional sebagai kondisi dinamika adalah terintegrasinya atau kebersamaan pluralitas yang berwujud delapan gatra. Sebagai masukan instrumental, gatra ideologi memiliki peran mengendalikan kehidupan politik. Dengan demikian, ia berkedudukan pada jenjang satu tingkat diatas jenjang gatra politik. Dalam bahasa teknikal sistem, relasi antara gatra ideologi dan gatra politik adalah relasi kendali asimetrik. Karena antara gatra politik dan transitif gatra ideologi juga mengendalikan gatra ekonomi, gatra budaya, dan gatra keamanan. Demikian pula, karena segenap jaringan interaksi antara gatra alamiah (geografi, demografi dan sumber daya alam). Dan tiga gatra sosial (ekonomi, budaya, dan keamanan) selalu dalam kendali gatra politik, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara gatra ideologi dengan ketujuh gatra lainnya adalah bersifat kendali asimetrik.
Pancasila adalah idea yang mengakui pluralitas yang membutuhkan kebersamaan, sedangkan ketahanan nasional adalah perwujudan pancasila dalam kehidupan nasional suatu bangsa. Dalam relasi yang demikian ini, wajar bahwa ideologi pancasila berkemampuan persis (akurat) untuk membimbing penyelenggaraan ketahanan nasional. Ketertiban dunia seperti yang dirancang oleh Founding Fathers kita adalah realitas terintergrasinya segenap kondisi ketahanan nasional dari semua bangsa yang ada yang ingin diwujudkan.
Oleh karena konsep ketertiban dunia pada hakikatnya merupakan perwujudan pancasila dengan wataknya yang integralistik dan sifat integralistik ini merupakan sesuatu yang alami, maka dengan sendirinya ia dapat diwujudkan. Ini artinya bahwa ideologi pancasila berpeluang untuk membimbing penyelenggaraan ketertiban dunia. Berhubung pancasila adalah idea, maka mampu berperan demikian, membutuhkan karya nyata dari para pendukungnya yang berwujud karya pemikiran, karya politik, karya ekonomi, karya sosial budaya, dan karya keamanan.
B.     Ideologi Pancasila dalam Pengajaran di Kelas
Pemerintah berkepentingan mengajarkan weltanschauung (pandangan hidup) ke generasi selanjutnya dan meneruskan cita-cita para pendiri bangsa. Sebab itulah, mata pelajaran pendidikan Pancasila menjadi wajib. Pelajaran ini disajikan dan diambil mulai dari kelas 1 SD sampai dengan semester 1 di perguruan tinggi, di luar kewajiban mengikuti upacara bendera. Tentunya, pelajaran ini dibuat bukan hanya sebagai  jargon, apalagi dicemooh. Pendidikan Pancasila menjadi kebutuhan dasar hidup  bersama sebagai bagian dari kontrak sosial. Latar belakang Satuan Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD) untuk jenjang SD-MI sampai dengan SMA-MA menyebutkan: “Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.
Dengan demikian, secara “teori”, setiap penduduk Indonesia perlu mempunyai kompetensi dan pemahaman  atas anutan nilai/gaya hidup yang mumpuni mengenai ideologi bangsa ini yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Tampaknya terjadi kekacauan di dalamnya tidak membedakannya antara Pancasila sebagai sitem nilai-nilai kebersamaan bangsa Indonesia dengan praktik kehidupan di masa lalu yang telah menyeleweng dari nilai-nilai etika Pancasila. Di dalam suasana keraguan akan nilai-nilai luhur Pancasila yang dimiliki oleh bangsa Indonesia orang mencari nilai-nilai baru yang diperlukan oleh bangsa Indonesia di dalam menghadapi masalah kehidupan masa depan bangsa. (Weilin Han).
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu pengembangan pendidikan haruslah berorientasi kepada dua tujuan, yakni untuk pembinaan moral dan intelektual. Moral tanpa intelektual akan tidak berdaya. Intelektual tanpa moral akan berbahaya, karena seseorang dapat menggunakan kepandaiannya itu untuk kepentingannya sendiri dan merugikan orang lain. Selain itu pendidikan juga suatu proses secara sadar dan terencana untuk membelajarkan peserta didik dan masyarakat dalam rangka membangun watak dan peradaban manusia yang bermartabat. Ialah manusia – manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha kemanusiaan, menghargai sesama, santun dan tenggang rasa, toleransi dan mengembangkan kebersamaan dan keberagaman, membangun kedisiplinan dan kemandirian, sesuai dengan nilai – nilai pancasila. Oleh karena itu proses dan isi pembelajaran hendaknya dirancang secara cermat sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada giliran selanjutnya akan menjadi potensi bagi proses pembelajaran yang berkualitas.
Pembentukan nilai-nilai positif sebagai warga dan sebagai warga negara yang baik dimulai di lingkungan keluarga. Di dalam lingkungan keluargalah anak-anak mulai mengenal nilai-nilai yang positif yang dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Tentunya di dalam lingkungan keluarga tidak diajarkan secara formal nilai-nilai Pancasila yang abstrak itu tetapi penjabaran dari nilai-nilai Pancasila seperti toleransi terhadap perbedaan misalnya di dalam kepercayaan, agama, suku, dan sebagainya sudah dapat dimulai dalam lingkungan keluarga.
Dikalangan siswa atau dibangku sekolahan, masih banyak anak sekolahan yang melanggar aturan sekolah dan lingkungan sekitarnya seperti banyak siswa sekarang yang mabuk-mabukan, kebut-kebutan di jalan, bolos, dan yang paling marak terjadi penyimpangan dari aturan atau norma pada saat ini adalah tauran. Tawuran dikalangan siswa sudah berada ditingkat atas dimana tawuran tersebut membuat aturan yang telah berlaku hanya sebagai lukisan dinding yang dipajang. Tawuran tersebut telah menjadi-jadi artinya tawuran yang disertai pembunuhan. Meskipun semua orang telah tahu akan hal itu khususnya siswa tetapi mereka tetap saja tidak sadar akan norma yang mengatur, sebenarnya sebagai siswa harus wajib menuntut ilmu, belajar dengan sungguh-sungguh, dan yang paling penting sebagai penerus bangsa dan negara Republik Indonesia yaitu mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari bukan mengamalkan hal-hal yang menyimpang dari aturan.
Selain itu, meskipun sekolah telah menerapkan aturan yang tegas dan mengikat, tetapi tetap saja penyimpangan itu terjadi. Hal seperti itu masih perlu ditingkatkan dari dalam diri siswa itu sendiri bila perlu sekolah tersebut membuat aturan lain agar siswa tersebut bisa disiplin dan tidak menyimpang dari aturan atau norma.
Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap,dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antarumat beragama, antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan. Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik di beberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Lampung, Poso, dan Papua, serta beberapa daerah lain di Indonesia. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia serta merupakan ciri khas yaitu membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Terdapat kemungkinan, bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain, bersifat universal yang juga dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi ke-5 sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah pula itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Kenyataan sehar-hari yang kita lihat dalam masyarakat bangsa Indonesia antara lain :
  1. Bangsa Indonesia sejak dahulu sebagai bangsa yang religius, percaya akan adanya zat yang maha kuasa dan mempunyai keyakinan yang penuh, bahwa segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini akan ciptaan Tuhan. Dalam sejarah nenek moyang, kita ketahui bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu dimulai dari bentuk dinamisme (serba tenaga), lalu animisme (serba arwah), kemudian menjadi politeisme (serba dewa) dan akhirnya menjadi monoteisme (kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa) sisanya dalam bentuk peninggalan tempat-tempat pemujaan dan peribadatan upacara-upacara ritual keagamaan.
  2. Sejak dahulu, bangsa Indonesia berkeyakinan bahwa pada hakekatnya semua manusia dilahirkan sama, dan karena itu yang hidup dan menikmati kehadapan sepenuhnya watak mesti bangsa Indonesia yang sebenarnya, tidak menyukai perbedaan perihal martabat yang disebabkan karena perbedaan warna kulit, daerah keturunan dan kasta seperti yang terjadi masyarakat feodal.
  3. Karena pengaruh keadaan geografisnya yang terpencar antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya, antar satu pulau dengan pulau lainnya maka Indonesia terkenal mempunyai banyak perbedaan yang beraneka ragam sejak dari perbedaan bahasa daerah, suku bangsa, adat istiadat, kesenian dan kebudayaannya (bhineka), tetapi karena mempunyai kepentingan yang sama, maka setiap ada bagian yang mengancam dari luar selalu menimbulkan kesadaran bahwa dalam kebhinekaan itu terdapat ketunggalan yang harus diutamakan kesadaran kebangsaan yang berbeda yaitu sebagai bangsaIndonesia.
  4. Ciri khas yang merupakan kepribadian bangsa dari berbagai suku, bangsa Indonesia adalah adanya prinsip musyawarah diantara warga masyarakat sendiri dalam mengatur tata kehidupan mereka. Sedangkan kepala desa, kepala suku,dan sebagainya hanya merupakan pamong (pembimbing mereka yang dipilih dan dari antara mereka sendiri, prinsip musyawarah dan masyarakat yang merupakan inti dari kerakyatan telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat adat seperti : desa marga, kurnia, nagori, banua, dsb.
  5. Salah satu bentuk khusus dari kerakyatan ialah kerakyatan dibidang ekonomi, yang dirumuskan sebagai keadilan atau kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia, asas ini sudah dikenal berabad-abad lamanya yang sisanya masih dapat kita jumpai dalam masyarakat terutama di desa, yaitu kebisaaan tolong menolong antara sesama masyarakat, gotong – royong dalam mengusahakan kepentingan bersama atau membantu (menolong seseorang yang sangat membutuhkan seperti materialistik, kapitalisme dan individualisme sama sekali tidak disukai oleh bangsa Indonesia, karena tidak memungkinkan tercapainya keadilan/kesejahteraan sosial.

Ø  Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Dalam Konteks Kurikulum 2013
 Dalam konstelasi konseptual, maka Pendidikan Kewarganegaraan secara psikopedagogis/andragogis dan sosiokultural harus dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam konteks pengembangan kecerdasan kewarganegaraan (Civic Intelligence) yang secara psikososial tercermin dalam penguasaan pengetahuan kewarganegaraan (Civic Knowledge), perwujudan sikap kewarganegaraan (Civic Dispositions), penampilan keterampilan kewarganegaraan (Civic Skills), pemilikan komitmen kewarganegaraan (Civic Committment), pemilikan keteguhan kewarganegaraan (Civic Confidence), dan penampilan kecakapan kewarganegaraan (Civic Competence) yang kesemua itu memancar dari setiap warganegara dan mengkristal kembali menjadi kebajikan/keadaban kewarganegaraan (Civic Virtues/Civility) (CCE;1994, Winataputra: 2001). Keseluruhan kemapuan itu merupakan pembekalan bagi setiap warganegara untuk secara sadar melakukan partisipasi kewarganegaraan (Civic Participation) sebagai perwujudan dari tanggung jawab kewarganegaraan (Civic Responsibility).
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti utuh dan luas, maka untuk jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan disesuaikan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang secara utuh memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) untuk jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah, maka tidak relevan lagi adanya pemisahan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Secara idiil dan instrumental konsep, visi, dan misi serta muatan PPKn tersebut sudah secara utuh mengintegrasikan filsafat, nilai, dan moral Pancasila dengan keseluruhan tuntutan psikopedagogis dan sosial-kultural warga negara dalam konteks pembudayaan Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Lain halnya untuk perguruan tinggi sesuai dengan imperatif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, dikemas dan diwadahi dalam dua mata kuliah yakni mata kuliah Pendidikan Pancasila yang lebih menekankan pada pendekatan filosofis-ideologis dan sosio-andragogis dalam konteks nilai ideal dan instrumental Pancasila dan UUD NRI 1945, dan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih menekankan pada pendekatan psiko-andragogis dan sosio-kultural dalam konteks nilai intrumental dan praksis Pancasila dan UUD NRI 1945, serta nilai kontemporer kosmopolitanisme.
Dengan adanya perkembangan baru dalam pengorganisasian pendidikan kewarganegaraan tersebut, terdapat kebutuhan dan tantangan baru bagi semua Guru PPKn dan semua dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan kewarganegaraan.
Penyempurnaan dan Penguatan PPKn di sekolah, secara komprehensif memberi tantangan sekaligus menimbulkan implikasi terhadap peningkatan kualifikasi, kompetensi, sertifikasi, dan kinerja guru PPKn secara berkelanjutan. Guru dituntut menguasai secara mendalam dan komprehensif  latar belakang dan semangat perubahan tersebut mulai dari nama, misi, substansi, strategi, pembelajaran, dan penilaian PPKn. Penguatan kurikulum PPKn ini juga menuntut adanya perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak, serta budaya profesional guru, terkait pengembangan secara integratif dimensi pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan, untuk menghasilkan pribadi warga negara yang cerdas dan baik.
Penetapan adanya dua mata kuliah wajib umum (MKWU), yakni Pendidikan Pancasila (PP) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi memberi tantangan sekaligus menimbulkan implikasi terhadap penyegaran, pengadaan dosen PP dan dosen PKn secara berkelanjutan. Semuanya dosen PP dan/atau PKn dituntut untuk menguasai secara mendalam dan komprehensif latar belakang dan yang terkandung dalam visi, misi, substansi, strategi, pembelajaran, dan penilaiannya. Penguatan profesionalisme dosen ini juga menuntut adanya perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak, serta budaya profesional dosen terkait proses pengembangan secara utuh/holistik dimensi pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan.
Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah dilakukan melalui penerapan berbagai pembelajaran inovatif, kreatif, dan konstekstual sebagai wahana pembentukan karakter peserta didik secara utuh. Pengalaman belajar diseleksi dan diorganisasikan dengan menggunakan antara lain: (1) pendidikan nilai dan moral; (2) pendekatan lingkungan meluas; (3) pembelajaran aktif; (4) pemecahan masalah; (5) pendekatan kontekstual; (6) pembelajaran terpadu; (7) pembelajaran kelompok (8) praktik belajar kewarganegaraan; (9) pemberian keteladanan; dan (10) penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah yang berkarakter sesuai dengan nilai dan moral Pancasila.
Mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi menerapkan pendekatan berbasis proses keilmuan (epistemological /scientific approach) yang menekankan pada strategi dasar pembelajaran yang mencakup:proses mengamati, menanya, menggali informasi, menalar, serta mengkomunikasikan dan selanjutnya bermuara pada internalisasi dan personalisasi nilai dan moral dalam konteks karakter keindonesiaan, kemanusiaan, dan peradaban dunia. Model pembelajaran dikembangkan dengan paradigma proses membangun pengetahuan melalui berbagai penalaran induktif dan/atau deduktif (problem-based learning, inquiry/discovery learning) dalam bingkai membangun pengetahuan melalui transformasi-building knowledge through transformation of experiences.
C.    Pelestarian (Konservasi) Ideologi Pancasila
Hanya Pancasila yang dapat menjamin utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk terus mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia. Di samping itu, pemahaman terhadap wawasan kebangsaan juga harus ditingkatkan. Wawasan Nusantara yang menjadi doktrin dasar nasional, dan ketahanan nasional pada saat ini juga kurang mendapat
perhatian. Sebab, sangat mungkin masyarakat tidak memahami Pancasila, sehingga
Pancasila dianggap tidak penting.  Jika pada saat ini kondisi dan tujuan bangsa Indonesia masih jauh dari harapan, itu bukan berarti Pancasila yang salah.
Tetapi, manusia-manusialah yang belum mengamalkan Pancasila. Yang terjadi adalah penyimpangan terhadap Pancasila. Banyaknya pelanggaran hukum seperti maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap Pancasila. Hidup dengan gaya hedonisme dan konsumerisme pada saat ini merupakan contoh orang yang tidak dapat mengamalkan Pancasila.
Demikian rapuhnya rasa solidaritas sosial, patriotisme, tipisnya toleranisme, kebebasan yang kebablasan, anarki dalam politik dan ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Atas dasar dan gambaran tersebut, kini saatnya bangsa Indonesia menyadari kembali untuk lebih memahami, mengamalkan, mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu menyelamatkan "akta" dan warisan yang tidak ternilai dari para pendiri Republik Indonesia. Hanya dengan itu, bangsa Indonesia dapat menjaga amanah para pejuang yang telah memberikan milik yang paling berharga, jiwa raganya. Semua pihak yang merasa telah mengkhianati atau menodai Pancasila, yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya, seyogyanya mawas diri. Harus ada pemahaman, mengapa mereka dapat hidup di alam kemerdekaan saat ini, untuk apa hidupnya, dan akan ke mana arah yang dituju. 
Setiap bangsa dan negara yang ingin berdiri kokoh dan kuat, tidak mudah terombang- ambing oleh kerasnya persoalan hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu perlu memiliki dasar negara dan ideologi negara yang kokoh dan kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara akan rapuh. Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan
berbudaya tinggi. 
Indonesia ialah bangsa yang mempunyai banyak aset yang sangat layak untuk dibanggakan; yang unik, memiliki nilai intrinsik, eksoteris, dan tidak terdapat di belahan lain di muka bumi ini. Namun, di atas semua aset bernilai yang milik masyarakat Indonesia, hanya satu yang mampu merekatkan serta menyatukan itu semua, itulah Pancasila. Dan, inilah aset yang paling layak kita banggakan.
Sayang sekali, sejak maraknya isu terorisme, khususnya pasca teror bom buku dan bom di masjid al-Taqwa, Kompleks Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon , yang menguatkan opini kemunculan kembali ideologi Negara Islam Indonesia (NII) sebagai ideologi tandingan, keberadaan Pancasila sebagai ideologi pemersatu negeri terancam. Bersamaan dengan itu pula kita tersadar bahwa kita cukup lama melupakan Pancasila, sehingga keberadaannya begitu rentan terhadap ancaman “virus” ideologi transnasional.
Banyak ahli di Tanah Air kemudian mengajukan opini tentang pentingnya mengembalikan posisi Pancasila sebagai nafas bangsa. Kebijakan di Era Refomasi yang menghapus keberadaan Pancasila dari kurikulum sekolah lantas dianggap sebagai biang kerok persoalan yang menyebabkan nilai-nilai Pancasila tercabut dari sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini yang paling penting dalam hal Pancasila dan hubungannya dengan acaman ideologi-ideologi tandingan adalah dengan membangkitkan kesadaran komunal di setiap umat beragama, terutama ahli agama, akan pentingnya meremajakan Pancasila, yaitu dengan menghiasi Pancasila dengan doktrin-doktrin keagamaan, sehingga Pancasila tidak lagi dilihat sebagai “sesuatu yang lain”, yang berada di luar doktrin keagamaan yang eksis di Tanah Air.
Jika kita merujuk pada sumber-sumber sejarah awal pembentukan Republik Indonesia, niscaya kita temukan di sana bahwa Pancasila merupakan hasil perasan dari nilai-nilai luhur yang diakui oleh semua agama. Oleh sebab itu, Pancasila haruslah dilihat sebagai produk tafsir dari teks-teks suci agama itu sendiri, tanpa terkecuali. Hanya dengan begitu, eksistensi, rasa kepemilikan serta kebanggaan kita terhadap Pancasila akan tetap terjaga. (Nur hasan. 2011)
Ingatlah latar belakang digunakannya Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian ingat pula keunggulan sila-sila dalam Pancasila. Kita menggunakan Pancasila sebagai dasar atau pondasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dasar negara Pancasila dapat memenuhi keinginan semua pihak. Dasar negara Pancasila dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, dan adat istiadat atau kebudayaan. Dasar negara Pancasila sangatlah lengkap, berisikan sila-sila sesuai keinginan atau kebutuhan bangsa Indonesia seperti kebutuhan akan kehidupan yang berketuhanan atau beragama, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan atau demokrasi, dan kebutuhan akan keadilan sosial.
Maksud dari upaya mempertahankan Pancasila ialah Mempertahankan berarti mengusahakan agar sila-sila dalam Pancasila dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Dengan kata lain, mempertahankan Pancasila berarti mengusahakan agar dasar negara Republik Indonesia tidak diganti dengan dasar negara lain. Usaha yang harus dilakukan pertama adalah dengan jalan melaksanakan sila-sila Pancasila dalam kehidupan bernegara. Pemerintah dalam semua tindakannya hendaknya didasarkan atas Pancasila. Secara rinci, pemerintah Republik Indonesia hendaknya memperhatikan kehidupan beragama, memperhatikan hak-hak setiap warganegara, menekankan pentingnya persatuan, memperhatikan suara rakyat dan memperhatikan keadilan sosial.
Usaha kedua adalah dengan jalan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat hendaknya senantiasa memperhatikan kehidupan beragama, memperhatikan hak-hak orang lain, mementingkan persatuan, menjunjung tinggi demokrasi, dan memperhatikan keadilan sosial bagi semua anggota masyarakat. Di lingkungan kampus antara lain misalnya, seorang mahasiswa harus dapat menerima pendapat mahasiswa lain yang berbeda dengan dirinya, mahasiswa saling menghormati hak-hak mahasiswa lain sebagai anggota masyarakat kampus, mahasiswa harus selalu menghindarkan diri dari perkelahian dengan mahasiswa lain demi rasa persatuan bangsa.
Usaha ketiga melalui bidang pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting untuk mempertahankan Pancasila. Dalam setiap jenjang pendidikan perlu diajarkan Pancasila. Perlu dicamkan kepada anak didik pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara dan dasar negara. Dalam kehidupan di kampus misalnya, pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di kampus harus dilakukan dengan wujud perbuatan yang sesuai nilai-nilai Pancasila dan tidak hanya hafalan pada materi pembelajaran Pancasila. Materi pembelajaran Pancasila harus dapat menyentuh dan berpengaruh pada sikap dan perbuatan nyata dari mahasiswa. 
Ø  Upaya Menjaga Nilai – nilai Luhur Pancasila
Nilai – nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan suatu cerminan dari kehidupan masyarakat Indonesia (nenek moyang kita) dan secara tetap telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menjaga nilai – nilai tersebut. Untuk dapat hal tersebut maka perlu adanya berbagai upaya yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia. Upaya – upaya tersebut antara lain :
1.      Melalui dunia pendidikan, dengan menambahkan mata pelajaran khusus pancasila pada setiap satuan pendidikan bahkan sampai ke perguruan tinggi.
2.      Lebih memasyarakatkan pancasila.
3.      Menerapkan nilai – nilai tersebut dalam kehidupan sehari – hari.
4.      Memberikan sanksi kepada pihak – pihak yang melakukan pelanggaran terhadap pancasila.
5.      Menolak dengan tegas faham-faham yang bertentangan dengan pancasila.
      Demikianlah beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk menjaga nilai–nilai luhur pancasila sehingga masyarakat yang aman dan sejahtera dapat terwujud.
      Mengenai konservasi ideologi: konservasi terdapat dua komponen penting yaitu konservasi fisik atau lingkungan dan konservasi nilai. Nilai-nilai yang digunakan dan menjadi pedoman adalah nilai-nilai dari Pancasila sebagai dasar bernegara, misalnya nilai tentang religi, kejujuran, tanggung jawab. Jadi, konservasi itu tidak hanya pada masalah fisik saja tapi juga menyangkut masalah value (nilai) yang disepakati, nilai yang kita sepakati ketika menjadi warga Negara adalah nilai Pancasila, kemudian nilai itu dielaborasikan. Kemudian ketika kita masuk Perguruan Tinggi kita punya Tri Dharma Perguruan Tinggi dan nilai-nilai tersebut harus berintegrated. (Wawancara Prof. Maman). Terkait dengan Unnes yang mencanangkan Konservasi itu, dalam arti memelihara, melestarikan dan mengamalkan Pancasila sebagai warga negara yang baik. Hal ini sangat penting karena mau tidak mau kita dihadapkan pada berbagai macam ideologi baru di era global ini yg kontra produktif dengan Pancasila. Jadi, kita harus memaksakan diri untuk menjaga ideologi kita. Tetapi, jika itu disebut sebagai asas tunggal itu hanya sebatas institusional life. Karena pada hakikatnya, kita hanya mengamalkan apa yang berasal dari kehidupan kita, yang paling penting adalah bagaimana kitta memaknainya. Kalau pemaknaannya menyimpang maka asas tunggal itu akan menjadi tidak relevan lagi (Wawancara Prof. Masrukhi)




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang berwatak integralistik. Hakikat yang terkandung didalamnya adalah kebersamaan. Kebersamaan itu bisa terwujud realitas terintegrasinya sejumlah pluralitas dan bisa berwujud pula suatu idea yang mengakui adanya pluralitas yang secara alami berinteraksi saling tergantung membentuk subuah kebersamaan. Jadi di era global ini Pancasila dapat berdiri dengan kokoh. Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia serta merupakan ciri khas yaitu membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Dalam kurikulum 2013 ini pelajaran mengenai Pancasila ditambah jam pelajarannya agar siswa dapat lebih memahami tentang Pancasila. Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah dilakukan melalui penerapan berbagai pembelajaran inovatif, kreatif, dan konstekstual sebagai wahana pembentukan karakter peserta didik secara utuh. Melestarikan Pancasila dapat menggunakan berbagai cara yaitu : melaksanakan sila-sila Pancasila dalam kehidupan bernegara, melaksanakan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, setiap jenjang pendidikan perlu diajarkan Pancasila, memberikan sanksi kepada pihak – pihak yang melakukan pelanggaran terhadap pancasila dan  Menolak dengan tegas faham-faham yang bertentangan dengan pancasila.
B.     Saran
Dari makalah yang disusun ini mengandung saran kepada seluruh warganegara yang diantaranya bahwa:
a.       Setiap masyarakat Indonesia harus melaksanakan nila-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam kehidupannya sehari-hari.
b.      Untuk para pendidik agar dalam mengajarkan Pancasila lebih menarik lagi supaya peserta didik lebih tertarik untuk mempelajari Pancasila.
c.       Untuk mahasiswa bahwa pancasila harus dielaborasikan dengan pelestarian nilai-nilai melalui tri darma perguruan tinggi
DAFTAR PUSTAKA

Besar, Abdulkadir. 1983. Untuk mewujudkan Pancasila menjadi kenyataan hidup, berpikir integralistik, merupakan keharusan apriori sekaligus kebutuhan tak terelakan. Jakarta.
Besar, Abdulkadir. 1992. Damai dan Perang Berdasarkan Pancasila. Jakarta: Lemhanas.
Darmaputera, Eka. 1988. Pancasila: Identitas Dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Desyandri. 2014. Implementasi Dan Revitalisasi Pancasila Dalam Menumbuh kembangkan Karakter Bangsa. http://desyandri.wordpress.com/2014/01/04/implementasi-dan-revitalisasi-pancasila-dalam-menumbuhkembangkan-karakter-bangsa/. Diakses pada hari Senin 26 Mei 2014 pukul 10.15 WIB.
Deutsch, Karl and Stanley Hoffman (ed).1971. The Relevance of International Law. New York: Anchor Books Doubleday and Company, Inc.
Fattah, Abdoel. 2008 . Pancasila sebagai Lightstar Dinamis . The Fatwa Center.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=201266. Diakses pada hari Senin 26 Mei 2014 pukul 11.00 WIB.
firza. Zaidil 2011. "Apa Pentingnya Pancasila Dan Bagaimana Upaya Kita Mempertahankannya". http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=932. Di akses pada hari Senin 26 Mei 2014 pukul 11.05 WIB.
Handoyo, Eko, dkk. 2010. Pancasila Dalam Perspektif Kefilsafatan dan Praksis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hasan, Nur 2011. Cara ampuh menjaga pancasila. http://hankam.kompasiana.com/2011/05/19/cara-ampuh-menjaga-pancasila-365932.html. Diakses pada hari Senin 26 Mei 2014 pukul 10.50 WIB.
Moerdiono, 1991. Pancasila sebagai ideologi terbuka, dalam “Pancasila sebagai ideologi“, yang disuntuing oleh: Oetojo Oesman & alfian, BP-7 Pusat.
Ohmae, Kenichi . 1995. The End Of The Nation State The Rise Of Regional. New York: The Free Press.
Toffler, Alfin and Heidi Toffler. 1993. War And Anti War. Boston, New York, Toronto, London: Little, Brown, dan Company.
Suyahmo. 1999. Perwujudan Pancasila Sebagai Ideologi Negari. Ungaran: UNDARIS.
Udin S. Winataputra. 2014. DISKURSUS AKTUAL TENTANG PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn) DALAM KONTEKS KURIKULUM 2013 (Bahan Diskusi dalam Semnas PKn-AP3KnI, Tahun 2014). Diakses hari Senin 26 Mei 2014 pukul 10.30 WIB.
Weili Han, M.Sc.  Surabaya.http://www.leimena.org/en/page/v/196/mendaratkan-ideologi-pancasila-dalam-pengajaran-di-kelas. Diakses hari Senin 26 Mei 2014 pukul 10.40 WIB.

No comments:

Post a Comment